Pages

Minggu, 11 Juli 2021

[SHARING] Ketika Nana Operasi Miomektomi

 Halo!!!

Lama nggak jumpa!!!

Iya, banyak banget yaaa hal-hal yang terjadi dua tahun belakangan ini. Gara-gara Covid-19, udah setahun lebih kita "dipaksa" untuk lebih banyak di rumah dan jaga jarak denga teman-teman dan kerabat kita, mendadak laptop dan sambungan internet yang stabil menjadi dua hal yang esensial karena kerja dari rumah butuh banget dua hal ini.... Trus banyak juga lah cerita-cerita lainnya. Susah maupun senang, gue berharap semua jadi pelajaran yang positif buat kita semua ya...

Ngomong-ngomong soal pelajaran positif, gue juga mau berbagi cerita soal sesuatu yang lumayan mencengangkan, menegangkan, tapi juga surprisingly good buat gue. Seperti judul pos ini, kalian bisa nebak lah ya.... Gue terpaksa menjalani operasi miom. Miom tuh apaan? Kenapa harus dioperasi? Emang bahaya kalo nggak dioperasi? Nah ini yang mau gue ceritain. 

Tapi inget ya, gue cerita lebih ke pengalaman gue sebagai pasien, dengan pengetahuan seadanya yang gue dapet dari penjelasan dokter dan googling, dan kondisi tubuh gue sendiri, jadi subjektif banget dan ga bisa kalian jadikan patokan untuk treatment kalian seandainya kalian mengalami hal serupa dengan gue.

Siap???

Semua berawal dari sekitar Oktober-Desember 2020 lah ya kira-kira. Di tahun 2020, kantor gue memberlakukan full WFH sejak bulan Maret sampai Juli, lalu setiap bagian dibagi 2 tim untuk masuk bergantian seminggu-seminggu. Jadi kalau Tim A minggu ini masuk kantor, Tim B kerja di rumah, dan sebaliknya. Tapi di bulan September, karena mengikuti kebijakan pemerintah, kantor gue full WFH lagi sebulan, baru masuk di Oktober dengan sistem Tim A-Tim B lagi. Selama WFH, gue lebih banyak bekerja duduk di depan laptop dengan jam kerja justru nggak terkontrol. Bahkan Sabtu-Minggu pun dipake buat kerja. Kurang bergerak, makan sekenanya, tidur juga sekenanya ngebikin badan gue menggendut. Banget, terutama di area perut. Gue sempet sih rajin senam ngikutin video-video di Youtube, tapi nggak berkelanjutan juga. Berat gue paling berat mencapai 80 kg. Buset, padahal sebelum adanya Covid-19 ini seinget gue berat badan gue di 74 kg, yang mana udah termasuk obesitas juga untuk tinggi badan gue yang cuma 158 cm. 

Sejak mulai masuk kerja lagi dan menyadari bahwa celana-celana kantor mulai sempit--bahkan ada yang gak muat!!!--gue pun memutuskan untuk mengganti konsumsi nasi dengan shirataki rice, yang bisa dibeli di toko-toko online. Katanya, shirataki rice ini kalorinya cuma 0 kkal bok, jadi bisa banget bantu gue defisit kalori. Gue juga perbanyak makan sayur dan strict makan malam ga lewat dari jam 5 sore. Dengan cepat, berat badan gue turun ke 76 kg. Punuk di bawah leher terasa mengecil, lengan mengecil, kaki mengecil, tapi perut gue kok tetap melendung? Dan keras? Waduh!!! Malah mungkin karena lemak di perut udah menghilang, kerasnya malah terasa abnormal?? Gue lalu mulai menghentikan makan shirataki rice, ngeri juga jangan-jangan gue ketipu beli shirataki plastik, dan plastiknya mengendap di perut gue. Soalnya itu doang alasan paling masuk akal dari mengerasnya perut gue kan? Haduh... ya udahlah gue mulai coba balik makan nasi. Yang terjadi, perut gue membesar kayak orang hamil dan BAB gue nggak lagi padat. Pipis pun nggak tuntas, ngebikin gue sering banget bolak-balik WC. Dan mulai bulan Desember, gue mengalami sakit pinggang dan perut yang amat dahsyat dibanding biasanya pas PMS, di mana gue kalo PMS tuh biasanya nyaris nggak pernah sakit di area situ, paling lebih ke kulit kering dan kayak gejala flu.

Awal Februari 2021, gue akhirnya memberanikan diri buat periksa ke dokter umum di RS Puri Cinere yang dekat rumah. Kenapa lama amat sih baru Februari periksanya? Jadi gini ya.... pekerjaan gue dari akhir tahun itu sedang banyak-banyaknya dan nggak bisa ditinggal, dan otak gue pun memang fokus buat kerja. Kedua, di masa pandemi ini sebenernya gue takut ke rumah sakit karena rumah sakit kan justru tempat berkumpulnya orang sakit yang belum jelas sakit apa kan (makanya mereka ke sana buat periksa). Tapi di awal Februari, kerjaan lagi lumayan berkurang dan perut gue makin besar sampai gue nggak bisa tidur telentang karena kulit perut berasa tertarik banget, jadi gue putuskan sudahlah ke rumah sakit aja pake jaket waterproof dan masker rapat-rapat. Gue milih ke dokter umum karena gue pikir ada masalah di usus gue kan... Lalu gue bertemu dengan dr Ireine. Dokter ini bukan langganan gue, karena gue nggak punya langganan sih, tapi dokter ini beneran ramah dan perhatian banget. Dia kaget pas megang perut gue, tapi dia nggak bisa pastiin apa penyebab kerasnya perut gue. Jadi dia merujuk gue ke bagian radiologi untuk USG. Tapi karena syarat USG adalah harus puasa 8 jam dan bagian radiologi udah mau tutup, gue baru bisa USG besok paginya.

Besok paginya, setelah minum air banyak-banyak dan berasa pengin pipis, gue baru di-USG. Katanya sih biar sekalian ketahuan kondisi kandung kemihnya pas lagi penuh. Ini kan USG buat nyari problemnya di mana ya, jadi akan diliat mulai dari kandung kemih, ginjal, rahim, liver, pokoknya daerah perut situ deh. Dan ketahuan lah kalau sumber mengerasnya perut gue adalah karena ada "massa solid hipoechoik intra abdomen... agaknya berasal dari uterus dengan ukuran sekitar 18,7 x 18,5 x 12,6 cm". Pada hari hasil USG keluar, dr. Ireine lagi nggak praktik di RS Puri Cinere, tapi sungguh ni dokter baik banget. Dia nelepon gue dan bilang kalau dia udah ngeliat hasil USG gue, dan dia menyarankan gue segera cari dokter Ginekolog Onkologi atau yang di belakangnya ada titel SpOG (K). Kebetulan RS Puri Cinere nggak punya dokter ini, jadi gue harus cari di rumah sakit lain. Dia nyaranin nama dokter di beberapa rumah sakit di kota Depok, tapi gue nemu satu dokter di RS Prikasih, yang mana lebih deket dari rumah gue ketimbang rumah sakit di kota Depok, walaupun Cinere itu Depok yaa... Namanya dr. Taufik Zain Sp. OG (K), dan jadwal praktiknya kebetulan di hari itu juga. 

Lalu gue ke sana. RS Prikasih ini sebenarnya rumah sakit yang nggak begitu besar, tapi terima pasien BPJS dan harga perawatan di sini juga termasuk terjangkau. Maka... rame bangetlah ini rumah sakit. Makin parno dong ya sama Covid-19. Cuma yaa demi ketemu dokter yekaaan... berdoa aja dah banyak-banyak dan gak lepas-lepas masker, sampai rumah mandi cuci rambut lagi. Gue nggak pakai BPJS tapi asuransi kantor, tapi urusan pendaftaran dan antre ya sama ajalah sama yang BPJS malah cepetan majunya antrean BPJS. Jadi, untuk kunjungan-kunjungan selanjutnya, gue berangkat jam 10 dari rumah untuk jadwal dokter yang dimulai pukul 13.00, demi dapat nomor antrean depan. Di satu sisi, kagum sih dengan kesetaraan pelayanan rumah sakit ini, tapi di sisi lain agak bete karena gue jadi ikutan kudu antre lama hahahaha (masih ada lah sisi egois gue ya, namanya juga manusia).

Pertemuan pertama dengan dr Taufik ga berlangsung dengan banyak basa-basi. Dokter ini udah senior, dan kayaknya udah biasa banget menghadapi masalah begini. Gue di-USG dan gue nggak tau apa namanya yang pasti diperiksa lewat anus karena gue masih perawan, jadi dokternya ga mau lewat vagina. Intinya, berdasarkan pemeriksaan si dokter, gue punya miom di rahim dan miom gue jauh lebih besar daripada hasil USG di RS Puri Cinere, yaitu diameternya sekitar 28 cm, tapi perlekatannya di rahim gue nggak bisa diprediksi. Pasti harus dioperasi, apalagi ada gejala membesar dengan cepat dan berisiko mendorong paru-paru dan jantung, tapi dokter nggak bisa prediksi bisa cuma angkat miom aja atau harus sama angkat rahim gue (karena tergantung perlekatannya tadi, yang baru bisa keliatan setelah perut gue dibuka). Gue tanya-tanya lah seputar angkat rahim atau histerektomi, berarti kan gue akan menopause dini, apakah gue akan mengalami gejala-gejala menopause kaya kulit jadi keriput, osteoporosis, blabla... Tapi kata dokter, selama indung telur gue sehat ga akan ada masalah apa-apa karena hormon masih bisa diproduksi. Cuma ya gue ga bisa mens dan hamil aja. Telur gue jadi nanti akan mati sia-sia tiap bulannya (Seperti yang terjadi pada telur-telur sebelumnya juga siiy...) Gue, karena emang nggak berniat menikah dan hamil di umur segini, jadi gak masalah juga. Tapi gue bilang, mungkin gue akan cari second opinion dulu. Kata dr. Taufik nggak apa-apa, tapi tetep beliau ngasih surat buat cek laboratorium dan rujukan ke dokter jantung buat EKG, persiapan operasi.

Kenyataannya, setelah dapet rekomendasi dari teman-teman dan browsing soal dokter-dokter Sp.OG (K) lain, gue malah males pindah dokter. Hahahaha. Gue ga mau jelasin alasan-alasannya secara rinci dengan menyebut nama dokter-dokter lain karena setiap orang punya sifat berbeda: mungkin kalian ada yang lebih cocok sama dokter yang informatif dan ramah, atau rumah sakit berfasilitas hi-tech, dsb dan menurut gue, milih dokter yang akan menangani tubuh kalian ya harus senyamannya kalian. Gue cuma mau bilang, setelah gue browsing tentang dr. Taufik dan juga sempet ngobrol-ngobrol dengan beberapa pasien beliau yang udah langganan, trus juga pengalaman gue ngobrol dengan beliau, gue ngerasa klop aja. Gue orangnya suka dengan segala hal yang to-the-point. "Kamu harus operasi, nanti prosedurnya gini, kemungkinan terburuknya gini, saya ga akan kasih obat kamu karena kamu ga ada keluhan. Silakan ke dokter lain buat tanya-tanya kalau emang belum yakin, tapi kalo mau tetap ke saya, ini surat-surat pengantar buat ke lab dan dokter jantung, kita ketemu lagi setelah kamu bawa hasilnya." Udah. No drama, no sugar coating, dan si pak dokter juga nggak maksain kalau harus ke beliau.

Lalu gue menjalani persiapan operasi dong, dimulai dari cek darah, yang puji Tuhan semua normal. EKG juga normal. Satu masalah adalah tekanan darah gue yang tinggi, selalu di kisaran 170/110. Padahal, sebelum ada masalah miom ini, tekanan darah gue selalu antara 110/90 sampe 120/100. Pas ngobrol dengan beberapa teman dan kerabat yang pernah punya miom dan menjalani miomektomi, hal ini wajar dan tekanan darah gue akan kembali normal setelah miom diangkat. Tapi dokter jantung ngasih obat penurun tekanan darah dan diliat hasilnya sekitar seminggu terlebih dahulu, buat memastikan gue aman dioperasi.

Seminggu kemudian, balik ke dr. Taufik bawa hasil-hasil tes, dr. Taufik udah oke buat operasi. Tekanan darah gue udah turun ke sekitar 140-an lah waktu itu. Tapi ternyata gue belum tes PCR. Zaman pandemi gini, tes PCR itu wajib buat yang mau operasi dan 1 orang pendamping. Jadi gue dan nyokap harus tes PCR, hasilnya keluar dalam 2 hari. Selain itu, gue dan nyokap harus tanda tangan sejumlah surat pernyataan buat operasi, termasuk kalau ternyata operasi miom gue (miomektomi) mengharuskan rahim gue juga diangkat (histerektomi). Tanggal operasi udah ditentukan, tanggal 23 Februari 2021 jam 8 pagi. Malam sebelumnya, gue harus ke UGD dan masuk rawat inap. Eh siapa sangka, ujian datang. Gue mens dong di tanggal 22 Februari 2021!!!! Maka operasi diunduuurr.... Tunggu gue selesai mens dulu. Akhirnya diputuskan tanggal 2 Maret 2021. Iya, operasi ini gak boleh dilakukan pas menstruasi karena ditakutkan akan menyebabkan pendarahan hebat.

Tanggal 1 Maret 2021, gue ke UGD RS Prikasih, cek tekanan darah, pasang infus, masuk ke ruang rawat inap. Di sana, baru diinformasiin kalau ternyata pasien harus melakukan pemesanan kantung darah untuk transfusi (ini kenapa ga dari jauh-jauh hari deh? Padahal surat pengantar operasi dari dr Taufik udah mencantumkan permintaan darah 500cc!!) Jadi malam itu, nyokap gue, yang nemenin gue, mengurus pembayaran biaya kantung darah dan kurir pengambilan darah di kasir rumah sakit. Kantung darah untuk golongan darah gue tersedia di PMI Depok. Lalu mulai puasa makan dan minum dari pukul 2 pagi, 6 jam sebelum jadwal operasi pukul 8 pagi.

Pukul 8 pagi, gue dibawa ke ruang operasi, buka baju, dibius, udah ilang. Sekitar pukul 2 siang, gue tersadar udah ada di kamar dan... nggak ada rasa sakit sama sekali sih, cuma mulut gue kering banget dan perut gue diplester cukup panjang dari perut bawah sampai atas pusar. Gue dikasih tau bahwa operasi gue selesai pukul 11 siang, dan selama 24 jam setelah itu (berarti sampai pukul 11 siang tanggal 3 Maret 2021) gue nggak boleh makan-minum dan bergerak sama sekali. Yang mana sangat menyiksa karena mulut gue kering dan kalau mulut gue kering gue jadi batuk, dan kalau batuk perut gue sakit. Gue jadi diem-diem minta minum aja sama nyokap gue, tapi cuma minum dikiiiit banget sebatas ngebasahin kerongkongan gue. Oh iya, gue juga dipasangin kateter, jadi nggak masalah buat pipis, walau kenyataannya gue nggak pipis. Apaan yang mao dipipisin juga kan? Selain itu, dipasang semacam perlak sekali pakai juga, karena gue mengeluarkan darah sisa-sisa operasi semacam menstruasi atau nifas gitu.

Dua puluh empat jam pertama diisi dengan kebingungan, karena sebenernya bekas operasi gue nggak sakit yang gimana gitu, tapi bengkak dan rasanya kayak perut gue penuh aja gitu, nggak nyaman banget. Seingat gue, dokter udah kasih painkiller, antibiotik, dan obat antikembung lewat infus, tapi perut gue masih membesar. Baru pas dr. Taufik meriksa, kata beliau itu proses biasa, tubuh gue lagi berusaha menutup bekas luka, nanti juga mengecil lagi. Jadi ya sudahlah. Gue berusaha untuk banyak-banyak tidur aja ya kan...

Dua puluh empat jam berikutnya, alias tanggal 3 Maret 2021 setelah pukul 11..... Perut gue diperiksa apakah sudah ada bunyinya atau belum, lalu nungguin kentut karena itu menandakan kalau usus gue yang sebelumnya terpengaruh bius udah mulai bisa bekerja lagi, baru boleh makan. Selain itu, gue diharuskan berlatih memiringkan badan ke kanan dan kiri dan duduk. Jadi setelah sebelumnya gue gerak aja nggak boleh, sekarang justru harus latihan seaktif mungkin. Hokehlah. Kadang sakit, kadang cuma berasa berat aja gitu, tapi gue usaha buat memiringkan badan sesering mungkin. Lumayan juga, sekalian bikin punggung nggak lengket dengan kasur kan. Dan kalau gue merasa jahitan gue kayak tertarik, gue harus memegang bagian kanan dan kiri jahitan itu dan merapatkannya ke tengah supaya luka jahitannya nggak ketarik. Ini termasuk kalau bersin dan ketawa. Ribet dah. Tapi... painkiller membantu banget sih. Hehe. Tanggal 4 Maret 2021, gue udah bisa duduk.

Karena jadwal praktik dr. Taufik di RS Prikasih hanya hari Senin, Rabu, Jumat pukul 13.00-15.00, maka target gue adalah harus bisa dipulangkan hari Jumat, 5 Maret 2021, atau minimal dapat izin pulang hari Jumat dan pulang hari Sabtunya. Karena kalau nggak, baru ketemu dokter lagi hari Senin, yang berarti tambah biaya rawat inap lagi dooong.... Lagipula, untuk operasi miomektomi harusnya 3 hari udah bisa pulang. Untuk bisa dapat izin pulang, gue harus udah bisa duduk di kursi roda untuk dibawa ke poliklinik untuk USG. Jadi, target gue selanjutnya adalah duduk dengan benar dan nyaman serta berdiri. 

Oh iya, akhirnya, miom gue berhasil diangkat tanpa harus mengangkat rahim karena perlekatannya ke rahim ternyata nggak banyak. Cuma ukurannya gede bangeeed!!! 1 miom diameter 20 cm, 1 lagi 3 cm. Ukurannya kayak bakso beranak dan pentolnya dong!!! Pantesan bekas operasinya panjang bener, sejengkal lebih! Vertikal dari perut bawah ke atas, belok di sebelah kiri pusar.

Di tanggal 4 Maret 2021, pas banget infus gue ternyata bocor dan terpaksa dibuka sementara. Setelah diperiksa dokter, gue ternyata nggak perlu diinfus lagi karena udah cukup sehat. Gue nggak ngerti sih apa memang pemulihan operasi miomektomi ini secepat ini atau badan gue aja yang fit. Yang pasti infus gue dicopot dan gue boleh mengonsumsi obat oral (walau painkiller masih masuk lewat anus yeee), dan kateter gue dicopot. Gue bisa latihan jalan dengan bebas tanpa harus bawa kantong kateter dan tiang infus, dan bisa bolak-balik kamar mandi dengan bebas. Tapi buat mandi, gue masih pake wash gloves yang udah anti bakteri dan jamur, karena perban gue masih perban kain kasa kan. Itu serius ya rambut lengket banget pengen keramas tapi cuma bisa mentok dilap-lap pake wash gloves. Haarrrrr!!!

Di tanggal 5 Maret 2021, saatnya periksa USG dan jahitan, ternyata semua oke dan gue bisa pulang. YAAAY!!! Perban diganti plester anti air dan gue bisa mandi bebas. Ya tetap harus hati-hati sih. Gue disuruh banyak jalan tapi jangan ngangkat berat dulu dan naik tangga kalau bisa jangan banyak-banyak. Setelah selesai bayar dan ambil obat, gue beserta bokap-nyokap pun pulang. Naek mobil itu agak masalah yeee ternyata. Setiap ada jalanan nggak rata, perut gue rasanya kayak agar-agar. Nggak sakit sih, tapi nggak nyaman dan harus gue pegangin. Untung rumah sakit deket rumah, jadi yaaa akhirnya bisa sampai rumah tanpa banyak drama.

Pada tanggal 10 Maret 2021, gue ke dr. Taufik lagi buat pengecekan. Perut gue masih tebal di sekitar jahitan dan agak gendut di bagian bawah, tapi bagian atasnya rata dan enteng banget. Miom gue udah nggak ada dan perut gue nggak kayak orang hamil 6 bulan lagi!!! YAAAY!!!! Ternyata jahitan gue udah kering dan benangnya bisa dibuka. Gue masih dikasih obat antibiotik dan painkiller, tapi painkiller-nya udah nggak gue minum sama sekali karena rasa sakitnya masih bisa gue tahan. Gue nggak dikasih salep atau obat untuk luka jahitan gue, tapi dari hasil ngobrol-ngobrol sama teman yang habis operasi caesar, Bio-oil itu bagus banget dan gue pun beli. Setelah gue pakai, so far sih emang bagus dan bener-bener mencegah keloid banget!!! Yang mau beli bisa ke marketplace ijo atau oranye ya... Ada kok toko resminya.

Apakah semuanya selesai? Oh ternyata tidak semudah itu, Ferguso!!!

Di tanggal 20 Maret 2021, mulai muncul gumpalan-gumpalan darah dari vagina. Gue pikir itu sisaan operasi, karena memang gue pernah dikasih obat untuk membersihkan rahim dari sisa-sisa jaringan miom, tapi makin lama makin banyak dan pada tanggal 24 Maret, gue mens dong. Dan mensnya beneran banjir, warna coklat tua!! HIIIY!!!! Seumur-umur gue belum pernah mens yang banjir kayak gini. Gue sampe lemes, badan gue dingin, menggigil. Tanggal 24 Maret harusnya gue kontrol lagi ke dr. Taufik tapi karena mens masih banyak-banyaknya, gue nggak kontrol dan baru hari Jumat, 26 Maret, gue ke sana. Saat itu darahnya sudah aman terkendali. Gue USG lagi dan dokter bilang itu memang cara tubuh ngebersihin rahim. Kan kemarin ukuran miomnya jumbo banget tuuuh.... nah, rahim gue jadi membesar dan butuh waktu buat kembali normal. Sementara itu, di dalam rahim masih ada sisa-sisa jaringan yang perlu dibuang, dan rahim gue bereaksi untuk ngeluarin sisa-sisa jaringan itu. Kalau untuk orang yang udah nggak perawan atau pernah melahirkan, bisa dikuret biar cepet. Tapi karena gue masih perawan, jadi dokter cuma kasih obat 2 jenis dan multivitamin 2 jenis. Katanya setiap makan obat itu, gue akan merasakan kontraksi karena rahim gue akan mencoba ngebuang jaringan-jaringan yang tersisa itu. Dan tentu artinya apa??? Gue masih akan mens terus selama proses itu.

Oke. Lanjut, ternyata konsumsi obat pembersih rahim itu ternyata nggak bikin mules-mules amat sih, tapi iya gue kayak mens terus dan harus pake pembalut terus. Bete. Tapi darahnya sih cuma dikit dan lama-lama emang ngga segelap sebelumnya. Tanggal 7 April gue mens beneran di mana darahnya kembali merah dan jumlahnya kayak mens gue normal, tapi kadang ada gumpalan lumayan besar keluar, itu kayaknya sisa-sisa jaringannya deh. Setelah periode mens, balik lagi darahnya keluar sedikit-sedikit. Bulan depannya mens lagi, bulan depannya mens lagi... gitu terus dan lama-lama darah yang keluar di antaranya berkurang. Gue masih harus cek ke dokter sebulan sekali buat di-USG dan dapetin obat buat bersihin rahim itu (gue gak mau bilang karena kalian harus dapetin obat berdasarkan resep dokter ya! Ini obat keras soalnya) dan terakhir gue cek di awal Juni, ukuran rahim gue udah mengecil tapi belum normal. Bulan Juli ini, gue belum ke dokter karena kondisi Covid-19 yang makin parah dan gue nggak berani ke rumah sakit. Tapi badan gue udah makin sehat. 

Kondisi gue saat ini:

Mens jadi teratur. Serius, so far di sekitaran tanggal 6 dan 7. Kalo dulu, siklus mens gue tuh sekitar 40 hari, jadi tiap bulan mundur. Sekarang pas sebulan. Dan PMS gue ga sakit lagi. BAB, BAK lancar. Seneng banget tau kalo ternyata masalah di badan gue selama ini disebabkan oleh miom dan sekarang udah diangkat. YAAAY!!!

Berat badan stabil di 70 kg. Abis operasi belum boleh angkat-angkat berat dan olahraga yang ringan-ringan aja dulu. Makan harus sehat, banyak protein. Gue minum kaldu ayam tiap pagi. Buat ngecilin perut yang jadi agak gombor karena abis angkat miom, gue pakai korset setiap hari, tapi nggak yang 24 jam... dan pake Bio Oil di luka bekas operasi gue. So far, bekasnya masih jelas di bagian bawah, tapi yang di atas mulai pudar dan nggak timbul keloid sama sekali. Nanti kalo ukuran rahim udah balik normal dan gak perlu konsumsi obat-obatan, baru lah mikir nurunin berat badan. Sekarang jaga stabil, nggak naik aja dulu.

Gue divaksinasi Sinovac bulan April dan Mei 2021. Kondisi gue masih konsumsi obat dari dokter, tapi kata dokter ga apa-apa divaksin. Gue juga udah lapor ke dokter yang mau vaksin gue dan mereka juga bilang nggak apa-apa.

Begitulah kisah gue dengan miom gue tersayang... Semoga bisa membantu memberi gambaran buat temen-temen yang punya miom yang mengganggu dan harus operasi tapi masih clueless dan takut. 

Ini foto miom gue... moga-moga ga pada takut ya.. Jadiin motivasi dan penambah semangat aja buat kalian yang sedang menghadapi kondisi miom yang disarankan buat operasi.

Ini yang diameternya 20 cm, pas baru dikeluarin dari perut gue.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...